Kecerdasan Buatan

Etika di Balik Self-Driving Car

Tesla, Google, Apple, Uber, Audi, Volvo, dan masih banyak perusahaan lainnya yang melakukan riset untuk mengembangkan mobil tanpa driver. Triliunan USD dihabiskan untuk pengembangan ini.

Apakah ini perlu? Apakah ini akan membuat pekerjaan driver hilang? Apakah ini bisa menjadi produk yang aman? Dan masih banyak pertanyaan yang muncul karena adanya teknologi ini. Khususnya dalam lingkup etika dan hukum. Aturan pertama mengenai kendaraan self-driving telah dibuat oleh U.S. Department of Transportation telah rilis pada bulan September 2016. Lulusan dan peneliti dari Stanford University telah melakukan kajian dan diskusi singkat mengenai topik yang sedang hangat dibicarakan ini.

Trolley Problem

Argumen yang sering muncul terkait kendaraan autonomous adalah teknologi ini dapat mengurangi kecelakaan kendaraan yang disebabkan oleh manusia. Meskipun ini benar, pertanyaan lebih mendasar masih ada: bagaimana pabrik kendaraan atau kebijakan publik bisa mewujudkannya?

Setiap orang mengatakan driverless car bisa mengatasi kesalahan pengendara manusia. Namun, kita berpikir manusia sebagai seorang decision-maker bermoral. Bisakah kecerdasan buatan menggantikan kapasitas kita sebagai makhluk bermoral?

Pertanyaan tersebut membawa kita ke “trolley problem”, sebuah eksperimen etika yang muncul sejak 50 tahun yang lalu. Pemikiran ini bisa diaplikasikan ke kendaraan driverless.

Pada eksperimen tersebut, bayangkan trolley melaju cepat di jalurnya. Pada jalur tersebut, terdapat empat orang yang akan tertabrak. Namun, Anda dapat menggunakan tuas untuk mengganti jalur, yang terdapat satu orang. Apakah Anda akan menarik tuas tersebut dan membiarkan satu orang mati? Atau tidak melakukan apapun dan membiarkan empat orang mati?

Insinyur di bidang autonomous car harus menjawab pertanyaan seperti ini, bahkan dengan skenario yang lebih kompleks. Pilihannya tidak Cuma membunuh satu atau lima. Apakah kendaraan akan memprioritaskan penumpang? Atau pejalan kaki? Atau keduanya? Atau mungkin tidak keduanya, yaitu mengembalikan keputusan ke tangan konsumer?

Kondisi ini dikenal dengan istilah “No-win”. Kondisi ini bisa terjadi jika kecelakaan tidak bisa dihindari. Kendaraan harus mengambil keputusan sebijak mungkin dengan berbagai pertimbangan moral. Sistem tidak hanya harus memiliki kecerdasan intelektual buatan, namun juga kecerdasan emosional buatan.

Hilangnya Pekerjaan

Masalah etika lainnya adalah jumlah pekerjaan. Lebih dari 3,5 juta orang di Amerika Serikat bekerja sebagai sopir truk. Teknologi memang cenderung menghilangkan pekerjaan, namun menciptakan pekerjaan lain. Tapi, dengan revolusi teknologi ini, sepertinya tidak bisa dianggap semudah itu. Perusahaan teknologi dan pemerintah harus memiliki jawaban alternatif untuk permasalahan ini.

Transparansi dan Kolaborasi

Beberapa peneliti mengusulkan untuk adanya transparansi yang lebih dalam desain mobil ini. Transparansi dari algoritma bisa menjadi salah satu pertimbangan konsumer.

Begitupun dalam hal pengembangan, perlu adanya kolaborasi yang terbuka antara filsuf etika professional dan insinyur pengembang. Dengan begitu, mereka bisa memiliki peran yang konkrit dalam pengambilan keputusan berdasarkan moral.

Author: Hermon Teguh Jay M

Recent Graduate from Universitas Gadjah Mada

Leave a Reply

Your email address will not be published.